Rabu, 29 Juli 2009

Asal Usul Islam


Dalam kehidupan sosial sehari-hari, sering dijumpai adanya persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan diri kita semua. Persamaan dan perbedaan tersebut bisa menyangkut masalah-masalah yang sangat pokok, maupun yang hanya sebagai pelengkap belaka. Berkaitan dengan persoalan ini, Allah Swt. Yang Maha Mengetahui telah memberikan ajaran, pedoman dan tuntunan kepada manusia tentang bagaimana hendaknya kita, sebagai umat Islam, menyikapi semua persamaan dan perbedaan yang ada di antara kita. Dalam kaitan ini, Allah Swt. telah berfirman sebagai berikut:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai semua manusia, sesungguhya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah itu Maha berilmu lagi Maha Mengetahui”. (al-Hujurât: 13)

Ayat di atas mengisyaratkan adanya tiga persoalan yang layak dicermati dengan baik, sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk bagi kita semua dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Ketiga persoalan yang menyangkut umat manusia itu adalah sebagai berikut:

Yang pertama adalah mengenai asal-usul kita sebagai manusia. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa seluruh manusia berasal dari seorang laki-laki dan seorang permpuan. Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa kita semua berasal dari bahan dan dasar yang sama. Manusia berasal dari sperma seorang laki-laki dan ovum dari perempuan, yang kemudian tergabung menjadi satu dan selanjutnya masuk ke dalam rahim dan tumbuh di sana sebagai janin, yang kelak bila telah sampai waktunya akan lahir sebagai manusia.

Petunjuk itu mengisyaratkan bahwa kita semua berasal dari benih yang sama, kita semua bermula dari bahan dasar yang serupa. Karena itu, tentulah di antara kita semua terdapat persamaan-persamaan yang memang mesti ada. Persamaan-persamaan itu bisa menyangkut hal yang berkaitan dengan wujud fisik atau jasmani, dan bisa juga yang berkaitan dengan ruhani. Yang berhubungan dengan fisik adalah kesamaan yang ada pada sosok jasmani, seperti bentuk tubuh dan kelengkapan anggota ataupun indera pada semua manusia. Sedangkan yang berhubungan dengan ruhani, seperti persamaan-persamaan dalam sifat, sikap, tindak-tanduk, dan lain sebagainya.

Dari adanya persamaan-persamaan itu, kita dianjurkan untuk selalu ingat bahwa manusia itu adalah sama, karenanya di antara sesama tidak diperbolehkan untuk saling melecehkan antara yang satu dengan yang lainnya. Suatu kelompok tidak diharapkan untuk merendahkan kelompok lain. Suatu suku tidak dianjurkan untuk menganggap mereka sebagai yang lebih tinggi dari suku lainnya. Suatu bangsa hendaknya tidak menganggap dirinya paling mulia atau paling tinggi derajatnya, sehingga yang lain dinilai merupakan bangsa yang rendah. Bila sikap menjunjung persamaan ini dapat diresapi dengan baik, niscaya semua manusia akan saling menghormati antara satu terhadap lainnya. Mereka akan saling menghargai dan mengindahkan dalam percaturan kehidupan sehari-hari. Inilah yang diharapkan dalam kehidupan sosial manusia, yang tentunya akan selalu terjadi komunikasi antara sesama dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Sikap yang demikian akan bermuara pada kesejahteraan dan kedamaian di antara sesama, dan ini adalah yang paling diharapkan sesuai dengan ajaran Ilahi.

Yang kedua adalah adanya perbedaan di antara manusia, yang diisyaratkan dengan ungkapan bahwa mereka itu sengaja dijadikan dalam bentuk bangsa, suku, dan budaya yang berbeda, agar mereka saling megenal dan pada akhirnya dapat melengkapi kekurangannya dari kelebihan-kelebihan yang dimiliki bangsa atau suku lain.

Isyarat ini mengajarkan kepada kita bahwa di samping persamaan-persamaan yang ada pada manusia karena asal-usulnya serupa, mestilah ada pula perbedaan-perbedaan. Hal ini menjadi llogis, ketika disadari bahwa manusia tidak semuanya hidup dalam kondisi yang sama, baik menyangkut faktor geografis di mana mereka tinggal ataupun yang berkaitan dengan suasana sosial kemasyarakatannya. Ketidaksamaan ini tentulah akan menimbulkan perbedaan-perbedaan antar manusia. Dari sini ditemukanlah fenomena alami yang selalu ada pada manusia, di mana di antara mereka ada yang tinggi bentuk tubuhnya dan ada pula yang rendah, ada yang gemuk dan ada pula yang kurus, ada yang kaya dan ada pula yang miskin, ada yang pandai tetapi ada juga yang bodoh. Demikianlah kenyataan yang ada.

Namun, satu hal yang perlu diperhatikan, hendaknya perbedaan-perbedaan itu bisa memberikan semangat kepada kita untuk saling mengisi, saling melengkapi, dan saling menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada masing-masing. Inilah sebenarnya hakekat dari dijadikannya kita, umat manusia, dalam perbedaan-perbedaan. Akan tetapi, pada sisi lain, perbedaan ini tidak sepantasnya dijadikan sebagai alasan untuk menganggap yang lain lebih rendah, lebih hina, ataupun lebih bawah derajatnya.

Kedua ajaran Tuhan ini mengisyaratkan bahwa dalam nuansa pluralis yang tidak dapat dihindari, tetap ada kesamaan-kesamaan, di samping perbedaan-perbedaan. Kedua kenyataan itu hendaknya tidak menjadikan sekelompok manusia merasa lebih mulia, sehingga kemudian mereka menyombongkan diri dan menganggap yang lain tidak layak untuk dihormati. Inilah kunci kedamaian dalam kehidupan sosial di antara umat manusia. Bila kita semua menghendaki kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan, maka kunci pemahaman terhadap perbedaan dan persamaan tersebut hendaknya dapat dijadikan acuan dalam bertindak dan bertingkah laku.

Yang ketiga adalah bahwa semua manusia itu sama dalam pandangan Tuhan. Yang membedakan antara satu dengan lainnya di antara mereka adalah kepatuhannya kepada ajaran Ilahi (takwa). Siapa yang lebih patuh dalam menjalankan semua yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang, maka dialah yang dianggap paling baik dan paling mulia dalam penilaian Tuhan. Sebaliknya, orang yang ketakwaannya hanya pas-pasan saja atau malah lebih rendah intensitas ketundukannya, maka ia tentu akan lebih rendah nilainya di depan Tuhan, walaupun ketika di dunia ia adalah seseorang yang dianggap paling tinggi kedudukannya di mata manusia. Tuhan tidak lagi menilainya berdasarkan kedudukan itu, tetapi sejauh mana ketakwaan dan kepatuhannya dalam menjalankan perintah-Nya.

Dari isyarat-isyarat ini, tampak betapa ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Ilahi ternyata telah sangat memperhatikan fenomena yang ada pada masyarakat manusia. Semua yang ada telah diantisipasi dan diberikan petunjuk serta jalan keluar dalam menyikapinya. Pluralitas merupakan salah satu fenomena yang tidak terhindarkan dalam kehidupan ini, dan Tuhan ternyata telah pula mengajarkan bagaimana hendaknya kita semua bersikap. Bila kita semua dapat melakukan petunjuk yang telah digariskan, tentulah tidak akan ada segala macam persoalan yang hanya akan membawa kita semua dalam kancah perpecahan dan pertikaian, melainkan keharmonisan dan ketenangan yang akan membawa kita pada kebahagiaan dan keceriaan.

Itulah salah satu ajaran Tuhan yang berkaitan dengan realitas alami yang ada pada manusia. Dengan kenyataan demikian, seharusnyalah kita semua tidak perlu risau akan adanya perbedaan-perbedaan di antara kita. Kita tidak usah sedih hanya karena yang satu tidak memiliki sesuatu seperti yang ada pada pihak lain. Kita tidak usah takut hanya karena di antara kita ada yang lebih berkuasa dan lebih kuat dari yang lainnya, justru kekuatan dan kekuasaan itu hendaknya dapat dijadikan sebagai alat atau sarana untuk menciptakan kedamaian antar sesama. Bila ini yang kita lakukan, sesuai dengan petunjuk Ilahi, niscaya kebahagiaan yang akan ditemukan. Jika ajaran Tuhan itu yang kita perbuat, maka hanya kesejahteraan semata yang akan melingkupi dan menaungi kehidupan kita.

Oleh karena itu, ada baiknya bila kita saling mengingatkan bahwa kembali kepada al-Qur’an adalah merupakan sesuatu yang patut diperhatikan. Kembali kepada jalan Tuhan adalah persoalan yang mesti kita tanamkan sebaik mungkin dalam jiwa kita. Mengikuti tuntunan Allah Swt. merupakan jalan untuk menuju dan kembali kepada-Nya dengan penuh keikhlasan dan senantiasa berada pada ridha-Nya, yang selanjutnya akan membawa kita sebagai makhluk kesayangan dan siap untuk tinggal di surga-Nya. Barakallâhu lî wa lakum. Âmîn.


Sumber :
Ditulis oleh Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Skull Belt Buckles